Kejadian ini terjadi sekitar satu minggu yang lalu, dan ternyata, setelah saya berbincang-bincang dengan teman-teman, modus seperti ini sudah ada sejak lama, bahkan teman-teman saya juga banyak yang mengalami hal ini, yang hampir-hampir mirip modusnya. Mungkin karena saya kurang update, jadi saya benar-benar baru tahu.
Silakan baca dialog yang saya alami ini untuk pembelajaran, siapa tahu dialami juga oleh Anda dan orang-orang terdekat. Jadi, Anda sudah tahu apa tujuannya.
Kira-kira sekitar jam 19.30 hari Jum’at malam, ada panggilan masuk ke handphone saya dengan nomor asing.
“Hallo, selamat malam?” Saya mengeluarkan sapaan resmi, karena saya pikir, seperti biasa ada orang yang akan menggunakan jasa saya.
“Woy! di mana sekarang, bro?” Timpalnya langsung menyerobot sambil tertawa.
“Maaf, ini siapa, ya?”
“Uhh, sombongnya sekarang.”
“Tar dulu, bro, lupa… Ini teh “B***N, bukan?”
Dia tertawa lagi…
“Tebak siapa, hayo?”
“Wah, siapa, ya? Soalnya nomor-nomor di HP saya sudah ganti semua, kemarin HP saya hilang, baru ganti kartu dengan nomor yang sama ke Grapar**.”
“Wih, emang lu orangnya teledor dari kecil, sih!”
Sampai di sini, saya tidak menaruh curiga sama sekali, karena tidak ada yang seberani dan akrab ini selain teman-teman saya.
“Cepet banget lupa sama teman dari kecil. Coba tebak siapa?”
“Bentar… Siapa, ya?” Saya menjawab sambil cengengesan, karena tidak enak, dan saya kira teman saya ini ngajak bercanda, soalnya sering teman-teman saya becanda dengan menyembunyikan namanya terlebih dahulu kalau bercakap-cakap lewat telepon.
“Clue-nya apa, bro? Hehe…”
“Wah, perlunya apa? Makin sombong aja, nih!”
“Bukan, bro.. Ha..ha. Maksud saya, apa clue-nya, bukan apa perlunya. Nama huruf pertamanya, misalnya?”
“Gimana, bro?”
“Clue, clue, bukan perlu!”
“Oh, clue-nya…”
Suasana hening, saya masih mengacak-acak ingatan, siapa orang ini?
“Ha, ha. Saya tahu, ini “Nganu,” ya? Saya menyebut salah satu teman dengan sensor “Nganu,” memori saya mendarat ke teman saya tersebut, karena secara suara sama, bedanya yang ini agak berat. Saya pikir lagi, barangkali karena bertambahnya usia.
“Iya, gue si “Nganu.” Waduh gimana, sih?
‘Soalnya suaranya sekarang agak beda, sih.”
“BTW, lagi di mana, bro?”
“Lagi di Tangerang. Situ di mana?
“Gue di jalan, baru latihan di Bintaro.”
“Oh, masih ngeband sekarang?”
Sebenarnya agak terdengar janggal dengan dia menyebut kata pengganti orang pertama dengan “Gue.” Sementara teman saya ini bukan berasal dari Jakarta. Tapi, siapa tahu saja dia memang sudah lama di Jakarta.
“E.. Nah, Iya. Tadi pagi juga udah perform di INBOX.”
“INBOX?”
“Iya, INBOX”
Hah? Meski agak janggal lagi, tapi lagi-lagi saya masih belum menemukan kecurigaan, saya masih punya stok pikiran positif. Bisa jadi, karena teman saya ini memang sejak dulu sering ikut audisi band, jadi siapa tahu dia sekarang memang sedikit naik level?
“Gimana, personilnya masih yang dulu?”
“Ganti sekarang. Ini gue baru pulang latihan. Bro, btw, gue bisa minta tolong?”
“Tolong gimana, bro?”
“Enggak, ini gue terus terang aja posisinya lagi di pinggir jalan, Bintaro, mau pulang ke basecamp. Nah, kebetulan gue lagi kecelakaan nabrak anak kecil”
“Wah, terus kondisi kamu sama bocahnya gimana?” Saya sempat kaget juga mendengarnya.
“Lecet-lecet doang, sih. Nah, gue ini lagi sama teman, dan teman gue lagi dimintai keterangan sama Polisi, gue disuruh nelepon saudara yang bisa dihubungi.”
“Kok, begitu?”
“Iya, bisa minta tolong, kan?”
“Siap, bray!”
“Jadi gini. Nanti ini Polisi mau ngomong sama lu, dan lu jawab aja “iya-iya” lu pura-pura jadi saudara gue, ok?”
“O…Oke siap!” Saya pikir tidak mengapa, daripada terjadi apa-apa dengan teman saya.
Handphone pun rupanya sudah beganti tangan.
“Hallo?” Suara orang yang berbeda, Pak Polisi.
“Ya, hallo.”
“Ini benar saudaranya “Nganu”?
“I…iya bener, pak.” Saya bohong.
“Kami dari Kepolisian, “Nganu” tidak membawa surat-surat kendaraannya, apakah benar “Nganu” tidak membawa SIM dan STNK karena tertinggal di rumah Anda?
“Ya, ya. Benar, pak.” Saya bohong lagi.
“Jadi sekarang maunya bagaimana?”
“Apanya, Pak?”
“Kenapa “Nganu” sampai tidak membawa surat-surat tersebut?” Nadanya keras.
“Lho, masalah itu kurang tahu, Pak. Tanyakan saja sama orangnya langsung.”
Setelah babibu berdialog dengan yang mengaku Pak Polisi tadi, telepon berganti tangan lagi.
“Hallo, bro. Gimana tadi sama Polisinya?”
“Enggak apa-apa, dia cuman nanyain identitas kamu saja.”
“Terus, terus, uang damai gak ditanyain?
“Enggak ada, tuh.”
“Bro, bisa gak lu transfer 350 ribu aja, soalnya gue disuruh ngeluarin uang damai segitu sama Polisinya, terus entar gue langsung ganti.
“Gini aja, ke sini aja gimana, bro? Biar sekalian mampir, deket ini dari Bintaro ke Ciledug, kan?”
“Wah, kejauhan. Ada Bank Mandi**, gak?”
“Ada, bro.”
“Gue minta tolong transferin 350 ribu aja.”
“Dikirim lewat SMS aja nomor rekeningnya, ya?”
“Siap, siap! Gue sih banyak uang di jok motor, banyak banget, gak tahu ada berapa, yang jelas banyak banget, entar gue langsung anterin ke sana buat lu semua, takutnya kalau dibuka, Pak Polisi lihat dan uangnya dirampas semua.”
Sampai di sini, stok pikiran positif saya sudah habis, saya mulai curiga lebih, karangannya sudah kehilangan logika. Bukannya tadi dia mengaku menabrak anak kecil, lalu kenapa Pak Polisi menjelaskan kesalahan teman saya hanya karena tidak membawa surat-surat lengkap? Tidak pas.
Lalu sedikit terganggu juga dan terkesan agak janggal dengan pengakuannya “banyak banget uang” di bawah jok sepeda motornya, dan dia mengaku takut kalau-kalau Polisi tersebut merampas semua uangnya jika ketahuan. Dia juga berjanji akan mengganti uang saya dengan semua uangnya yang banyak (saking banyaknya, dia sendiri sampai tidak tahu berapa jumlahnya), ini juga tidak masuk nalar.
Lalu diawal, suaranya riang sekali, dengan sering diringi tawa, yang seharusnya, ini tidak terjadi jika memang keadaannya sedang dalam kondisi darurat sesuai dari apa yang dia jelaskan ujung-ujungnya.
Akhirnya, saya tutup telepon dulu, dan saya menelepon teman saya untuk memastikan keberadaan si “Nganu.” Teman saya menjawab bahwa si “Nganu” sedang berada di daerah Cirebon, dan bukan di Bintaro. Nah, kini jelaslah sudah, bahwa yang menelepon saya bukan teman saya.
Nomor penipu tadi masuk lagi, lalu saya angkat.
“Udah ditransfer belum, bro?”
“Bentar lagi. Oh, bro. Gimana adikmu, sekarang udah menikah apa belum, bro?”
“Masih belum, gak jadi kayaknya.”
“Kamu bohong, bro. Kerja, bro. Jangan begini kalau mau nyari duit.”
“Lho, lho. Gimana maksudnya, sih?”
“Si “Nganu” anak tunggal, dia tidak punya adik, bro. CARI DUIT YANG HALAL, BRO!” Saking kesalnya, saya membentaknya.
“Tut, tut, tut…”
Dan, akhirnya telepn ditutup, penipu tadi gagal melakukan aksinya 🙂
Jadi intinya, untuk yang belum tahu, hati-hati saja kalau nanti ada orang lain yang mengaku teman lewat telepon dan meminta mentransfer uang dengan jumlah tertentu dengan alasan untuk pembayaran ke Pak Polantas.
Perihal kenapa dia bisa mengetahui nomor saya, ini bagi saya tidak aneh lagi. Karena sebagai petani internet, nomor handphone tercecer di internet tentu karena merupakan benih.
Pelajaran buat saya dan juga barangkali buat Anda bahwa atas nama apapun itu, kalau urusan transfer mentransfer uang, mending dicek dan ricek lalu dipastikan sampai matang ke mana akan dialirkan? Apalagi di jaman sekarang penipuan itu semakin kreatif dengan berbagai macam modus yang unik. Semoga ada manfaatnya 🙂
NB :
Ada kasus yang dialami oleh teman saya, bedanya jika yang dialami saya si penelepon menunggu saya mengucapkan nama teman terlebih dahulu, lalu dia pura-pura membenarkan. Nah, kejadian yang dialami teman saya ini, si penelepon sudah tahu nama temannya, dia tinggal berperan sebagai temannya. Ini sangat mudah sekali, bisa jadi sebelumnya mereka melakukan pengintipan di media sosial seperti Facebook, misalnya. Mereka mengamati status teman saya dan komentar dari teman-temannya lagi. Nah, di sanalah pelaku tahu persis nama teman yang akan dimanfaatkan oleh penipu ini. Jadi, tetaplah berhati-hati, dan pikir dua kali untuk mengumbar data diri Anda.