Ingin aku menulis lagi, tapi buntu, stuck. Entah kata apa yang harus digoreskan dalam layar putih, akan didempetkan menjadi kalimat apa kata-kata itu kemudian? Aku tidak tahu, kehabisan ide.
Kulihat tangan tetap di posisi semula, mendarat di atas keyboard, kaku tak bergerak. Abu rokok patah dan berjatuhan dengan sendirinya, kepulan asap resah ke sana sini mencari celah-celah ventilasi.
Asap saja muak, apalagi manusia? Aku harus ke luar, mencari angin segar. Pilihan tepat, 30 menit merasakan suasana luar dengan dampratan angin malam cukup untuk dikatakan mantap, inspirasi timbul di sana-sini, ilham menulis datang sendiri. Yay! ini akan menjadi tulisan paling bergizi dan seksi, pikirku. Ajakan seorang kawan untuk ngopi pun aku abaikan.
Aku lari, terbirit-birit, kutatap layar putih kembali dengan muka yang lebih berseri-seri, semangat menulis begitu membara seolah kerasukan arwah Pramoedya.
Tidak cukup biasanya hanya inspirasi, aku butuh motivasi, tiba-tiba aku ingat guru Bahasa Indonesia, pada saat kududuk di bangku SMP, berkata :
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. (Rumah Kaca, h. 352)”
― Pramoedya Ananta Toer ―
Akhhh, jika diingat semakin terbakar! How Can I Tell Her about You miliknya Lobo pun kuputar untuk menemaniku menulis, diawali dengan sebuah judul yang kuyakin mempesona : “Reyna, Investasi Gadisku yang Dipaksa Kawin dengan Duda yang Ngaku Bos Batubara”
Satu kata, dua kata, tiga kata, hingga beberapa kata seperti di atas akhirnya terangkai. Namun, setelah diamati, ada yang janggal, ini kurang bagus, terlalu panjang dan picisan, basi, tidak bisa mewakili rasa sakit hati, kurang punya emosi, tidak punya energi.
Ini judul memang tak seksi, bagaimana kalau dibaca orang lain? Bagaimana nanti dengan penilaian mereka?
Aku hapus lagi, kata demi kata dibuang. Kurangkai lagi, dirakit lagi dari awal, dihapus lagi, dikosongkan lagi. Malam semakin matang, lelah, ngantuk, dan saat-saat seperti ini, kepada kopilah aku meminta perlindungan.
Satu jam sia-sia sudah, hanya untuk merakit judul yang tepat, semakin resah dan kehilangan arah dengan rasa khawatir dan takut terhadap penilaian orang lain terus menerus. Sudah, kali ini aku menyerah! Barangkali, memang layar itu ditakdirkan putih adanya. Berbaring tidur saja.
“Jika engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak Ulama besar, maka jadilah penulis”
― Imam Al-Ghazali ―
Dalam lelah, tiba-tiba saja, kalimat di atas yang pernah aku baca 4 tahun silam di internet itu melintasi benak.
Aku bangun lagi, langsung terbang ke kamar mandi, jongkok sebentar dan langsung tancap ke depan monitor. Satu, dua, tiga, tujuh, sampai hitungan lima belas menit terbiarkan dalam keadaan pikiran kosong, saling tatap menatap dengan monitor, klak-klik ke sana sini, dan hasilnya sama, konsentrasi bubar lagi, mood turun lagi. Tapi syukurnya, di menit ke 25 selesailah judul blog ini. Beres meski cukup menyita waktu.
Sekarang tinggal isi, membaca judul sebagus apapun itu, jika tanpa isi, tentu aneh sekai. Oleh karena itu isi menjadi penting.
Tapi, sepenting apa? Toh, judul sudah selesai, isi sudah berada di luar kepala, tinggal menuliskannya saja, dan biasanya, ini bisa lebih cepat. Beres, pikirku lagi. Oleh karenanya, aku berpendapat, tidak haram hukumnya jika baring-baring barang sebentar, diganjar dulu dengan santai, hanya sebentar.
Ya, atas nama santai dan sebentar, tapi sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh menit sudah malas-malasan, berbaring tanpa daya, dan akhirnya sama sekail tak punya tenaga dan selera untuk bergerak, apalagi menulis. Lagipula, sudah tidak punya bahasa lagi untuk dituangkan. Lanjutkan baring-baring lagi, menguap lagi, dan anehnya, peristiwa ini didukung oleh kalimat-kalimat yang muncul di kepala :
“Nanti saja, ‘kan tinggal isi, itu mah sebentar.”
“Gitu aja kok repot, biar nulis cepet selesai ya nulis aja kaya update status di FB atau twitter, pendek-pendek, ngalay, gak usah pake Grammer dan EYD yang baik benar jg gapapa kok, buat online inih, toh?”
“Isi mah gampang, kok, sebentar saja beres, istirahat aja dulu!”
“Ah, elah. Kaya mau bikin karya tulis ilmiah aja. Udah tidur, nyape-nyapein dewek!”
“Jangan maksain diri, stres malah!”
“Itu artinya kamu gak punya bakat, sudah istirahat aja!”
“Nulis bagusnya di kawasan pegunungan, atau di pantai, jangan di sini, jelas ‘gak produktif, lha.”
“Bukan tulisan orderan, kan? Gak ada deadline, kan? Udah istirahat lagi aja.”
Suara-suara dari dalam diri itu menggema tanpa irama indah, mensponsori penuh rasa malasku.
Dan, waw! Aku baru sadar sampai di sini, tulisan ini untuk blogku. Aku merasa beruntung!
Jadi seharusnya, aku boleh nulis tentang apa saja, tanpa takut akan ada yang menyunat pendapat, boleh semau-maunya asal tidak menyinggung dan merugikan pihak lain, tidak perlu takut terhadap penilaian orang, tidak ada sebuah paksaan, tidak terbelenggu, liar. Akurat atau tidak, itu nomor sekian.
Anehnya, kalau dipikir-pikir, menurutku lebih cepat menulis untuk orderan, ghost writter untuk review produk, yang akan ditampilkan di media cetak atau elektronik. Lebih sempit lagi, sebagaimana yang sering aku lakukan, menulis kemasan produk untuk naik cetak atau deskripsi produk / jasa di website, atau online store. Menurutku itu kurang ekstrim karena sudah ada instruksi jelas, bahkan bahan dan data yang akan diolah tersedia, revisi tulisan pun terarah.
Dan lagi perbedaannya, tulisan ghost writer seperti itu telah disetir oleh berbagai keperluan, berbagai macam pendapat orang, promosi produk dan layanan terutamanya yang sangat tajam sekali aroma iklan. Di sana, tidak mendapatkan kemerdekaan diri penuh, jika pun diberikan kebebasan hanya sebatas kepada pengembangan agar tercapainya komunikasi persuasif, tidak untuk menulis lebih jujur, liar, total, dan maksimal, sedikit banyaknya akan dibatasi untuk menguyah ide, dan lain, dan lain sebagainya. Berbeda sekali dengan yang aku rasakan hari ini, di awal pertama kali aku mengisi konten ini, kondisinya jauh berbeda dari menulis sebelum-sebelumnya.
Etapi, anehnya, dan ngomong-ngomong, tidak terasa, meski tanpa ide dan tujuan, akhirnya kata per kata, kalimat per kalimat terangkai juga.
Oh, Iya. Sama sekali tulisan ini tujuannya bukan untuk agar ditarik kesimpulan bahwa yang terpenting dalam memulai menulis, adalah praktek menulis, menulis, dan menulis, tidak sekedar ide, bukan juga sekedar motivasi, yang penting praktek menulis, menulis, dan menulis, dan jangan takut terhadap apapun penilaian orang lain nanti. Bukan agar ke sana, tapi kalau pun ada yang tersinggung dan satu pengalaman sering punya ide-ide liar dan gila, tapi stuck terus, takut terhadap penilaian orang lain terus, harus dicekok motivasi terus, namun malasnya juga terus, silakan saja beranggapan demikian. 🙂
Ini benar-benar hanya sebagai refleksi, dan lumayan, hasrat menulis aneh terlampiaskan dengan sempurna. Setidaknya, untuk diriku sendiri, karena ini blog pribadi. Masalah apakah isi dan inti tulisan ini? Sama sekali aku tidak tanggung jawab melunasinya, silakan saja beri kesimpulan sendiri, karena mau diteruskan pun, malam sudah sangat matang, dan hampir disembunyikan pagi, sementara mata lelah sekali, ngantuk sudah tak mau memaafkan lagi, selamat tidur.
PS : Ada kalanya nulis memang harus aneh 🙂