Cerita kumulai jam 09 pagi, pada saat itu, aku dan kawan sedang memeriksa ulang segala perlengkapan yang sudah dipersiapkan malam harinya. Di luar jendela kulihat langit mendung gelap, dan sesekali patahan-patahan air kecil dari langit turut melengkapi.
Keadaan cuaca seperti itu tidak lantas menghalangi tekad dan tujuan kami untuk memenuhi undangan seminar dan workshop di daerah Bayah, Banten. Bagiku, saat ke luar kota, dalam rangka tugas bertani adalah saat yang tepat juga jika dikolaborasikan dengan liburan. 🙂
Kebetulan, tempat tujuan kami dikenal juga dengan wisata pantainya yang seksi dan mempesona. Yup, ternyata di Banten, selain ada beberapa obyek wisata yang cukup terkenal akan pantainya seperti Carita dan Anyer, terdapat juga pantai Sawarna.
Tanpa basa-basi, dengan menggunakan kuda besi, dari selatan Tangerang, kami memulai hari. 🙂
Hujan yang sempat reda pagi itu, tiba-tiba di tengah perjalanan kembali turun semakin deras sehingga memenggal perjalanan kami. Kurang lebih 1 jam kami beristirahat di pom bensin, setelah hujan reda, perjalanan panjang diteruskan.
Mula-mula perjalanan sepanjang Tangerang hingga Rangkas Bitung sedikit membosankan, khususnya ketika melewati kawasan industri Serang, tubuh dihujani debu serta bermandikan keringat karena matahari siang terus menyengat. Cuaca berubah-ubah tidak tetap.
Namun, suasana berubah ketika memasuki Pandeglang, kami disambut ramah oleh bukit-bukit yang menjulang, pohon-pohon besar yang hijau dan kokoh, juga dihiasi eloknya gelombang hamparan lautan sawah yang semakin naik dan atas. Hembusan sejuk udaranya membuat kami mengurangi laju kendaraan. Rasa lelah sedikit tergantikan.
Aku langsung meminta menghentikan perjalanan untuk mengambil gambar, inilah hasil tangkapan lensa (dimaklumi saja kalau buram karena menggunakan kamera HP ) : 🙂
Selesai menjambret gambar, kemudian perjalanan diteruskan, roda ban kembali menggilas terjalnya jalanan selama kurang lebih 5 jam hingga sampailah kami menuju tempat tujuan akhir, Sawarna, Bayah, Banten.
Cerita sepanjang perjalanannya saja sangat syarat dengan pengalamanan, jika dituliskan, tentu saja akan memakan banyak halaman, maka kuloncati saja langsung ke tempat tujuan.
Untuk menuju tempat ini tidaklah cepat dan semudah yang aku bayangkan sebelumnya, dibutuhkan waktu kurang lebih 12 jam (09:05- 21:15) karena harus membelah hutan demi hutan, mengarungi jalanan bukit yang naik turun dan berliku tajam, ditambah lagi, rusak hancurnya jalanan, ditambah bonus lagi, sering nyasar-nyasar, hehehe.
Saat paling mendebarkan sekaligus menyeramkan adalah ketika melintasi hutan yang panjang, di tepi lautan selatan, di atas jam 7 malam kendaraan yang melintas sangatlah jarang, gelap, suasana sepi demikian mencekam.
“Waspada! Di tempat ini sering terjadi begal.” Demikian kawanku mengingatkan, semakin membuat jantung serasa diayun-ayun. Keringat bercucuran seketika. 🙂
Gemeriak ombak yang pecah di tepian pantai laut selatan masih setia melatari perjalanan kami, tetapi justru kali ini memberi kesan seram lagi menakutkan, satu dua kendaraan melintas, tapi itu pun dengan jarak waktu yang cukup lama, kendaraan tersebut kebanyakan adalah truk-truk besar pengangkut pasir, mungkin karena itu jugalah kenapa jalanan di sini rusak begitu parah, kami harus selalu menyalip truk-truk besar itu karena sering membuat mata perih kelilipan.
Di tengah hutan belantara, aneka satwa mengeluarkan bebunyian terbaiknya dengan lantang, tetapi semua itu tidak ternikmati, karena pandangan mata yang terbatas itu, membuat kami harus berkonsentrasi penuh, sebab jika tak awas, dalamnya jurang di tepian siap menelan siapa saja yang melintas, keadaan demikian memaksa kami untuk ekstra hati-hati.
Sering kami gagal menghindar dari rusak parahnya jalan, lolos dari pandangan, sehingga mengakibatkan guncangan keras nan dashyat. Benar-benar perjalanan yang penuh pengalamanan. 🙂
Sampai di desa Sawarna, kami menginap di salah satu rumah panggung kayu milik seorang kawan untuk mengganti energi baru yang terbuang di jalan.
Saat bangun pagi, badan terasa sangat pegal, tetapi udara yang dingin segar, pohon-pohon hijau yang begitu banyak, dan kicauan syahdu burung-burung seolah menjadi penawar pegal dan rasa lemas. Inilah penampakan penginapan kami di sana selama 1 Minggu :
Terlalu membosankan dan sayang waktu rasanya menunggu datangnya sore apabila hanya dihabiskan di dalam kamar. Maka pagi itu kami jalan-jalan mengelilingi lingkungan sekitar, di belakang rumah ada pohon Manggis, Rambutan serta Durian. Lantas kami berjalan lebih jauh lagi menuju bukit, sungai, dan sawah di sekitaran Desa Sawarna.
Sore pun tidak terasa menjemput, kami langsung menuju tempat penginapan dan mengisi energi untuk kemudian langsung ke pantai Sawarna.
Penampakan Pantai Sawarna
Sesampainya di sana mata langsung kuarahkan ke lautan lepas dan luas, duduk di atas hamparan pasir putih sambil melihat kapal nelayan yang terlihat kecil-kecil merayap terapung-apung dirusuh ombak. Kuhirup udara sekitar dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Tegang dan penat karena jenuhnya rutinitas terbunuh sudah. Pikiran sungguh tenang dan merdeka. Wah, merasa segar sekali! Sulit rasanya disimpulkan melalui media kata. 🙂
Pantai Sawarna memiliki pasir yang putih, airnya biru indah, ombaknya pun bertingkah ramah dan sewajarnya. Pantai ini juga diapit oleh gumpalan bukit-bukit. Itulah yang membuat keseimbangan pemandangan demikian sempurna dan mempesona.
Melalui pantai Sawarna sore itu, aku seperti diingatkan bahwa diri ini sungguh lemah tiada berdaya, sempit dan terbatas manakala dibandingkan dengan maha karya Tuhan dengan segala keluasan, kekuatan, dan keajaibannya.
Di sini, ada beberapa objek wisata yang biasanya dikunjungi, baik oleh wisatawan asing atau lokal yaitu pantai Pasir Putih, pantai Tanjung Layar, pantai Karang Taraje, pantai Legoon Pari, dan Goa Lalay.
Kulihat sore itu juga banyak wisatawan asing bergerombol sedang memburu tempat berkumpulnya ombak terbaik yang akan dimanfaatkan untuk bermain selancar.
Sunset Pantai Sawarna
Sore akan digantikan malam, kami tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyaksikan keindahaan saat-saat dimana matahari akan ditenggelamkan oleh pemilik semesta.
Semakin sore seiring turunnya matahari, semakin cantik saja pantai Sawarna terlihat, hamparan laut luas berbingkai langit jingga yang memancar terbata-bata membuat mata manusia yang berada jauh di bawahnya kompak menuju ke satu arah. Bagiku, sore itu melalui keindahan dan kemegahan cakrawala yang terapung tinggi di atas hamparan laut, seolah pemilik semesta sedang membahasakan eksistensiNya.
Genangan air di tepian kurasakan semakin naik, dan ombak semakin besar berlarian saling mendahului, gemuruhnya kian terdengar semakin keras. Pada saat itu, alam raya mengabari bahwa sore akan ditutup karena malam akan menggantikan peran. Kami pun kembali pulang.
Semua rasa lelah dan perjuangan menuju ke tempat ini tergantikan dengan setimpal, terbayar lunas semuanya. Tidak berlebihan apabila banyak orang menganggap bahwa pantai Sawarna adalah surganya Banten.
Tujuan Utama Bertani Dimulai
Besoknya, barulah melakukan kegiatan tujuan sebenarnya ke sini, tugas bertani, yaitu melakukan serangkaian kegiatan workshop dan seminar. 🙂
Hingga tidak terasa 1 Minggu sudah dilalui, Minggu paginya, kami langsung kembali ke kandang di Tangerang karena ditunggu oleh pekerjaan-pekerjaan lain yang sudah semerawut kusut dan siap meminta penguraian. Saatnya kembali lagi bekerja dengan semangat dan pengalaman baru.
Meski lelah, perjalanan ini sungguh indah.
Terima kasih, Sawarna Banten atas suguhan alamnya! Sampai ketemu lagi di lain waktu dan kesempatan. 🙂
Keren banget Pantai Sawarna, jadi pengen kesana … Makasih info nya gan … tempat wisata indonesia